SEBAIK-BAIK MANUSIA
Ternyata, derajat kemuliaan seseorang dapat
dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai mamfaat bagi orang lain. Rasulullah
SAW bersabda, "Khairunnas anfa’uhum linnas", "Sebaik-baik manusia diantaramu
adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau
ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh
mana nilai mamfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada
diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah manusia
haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib
ditandai jikalau keberadannya sangat dirindukan, sangat bermamfat, perilakunya
membuat hati orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang
manusia wajib, diantaranya dia seorang pemalu, jarang mengganggu orang lain
sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak
kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya,
sehingga lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak
suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau berbuat kebaikan.
Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa,
penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan
mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.
Bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik itu
perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa,
dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah,
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah
SWT, subhanallaah, demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan
tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun
benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang
yang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan
terasa ada sesuatu yang kosong di rongga qolbu ini. Orang yang wajib, adanya
pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan
ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik
pula.
Orang yang sunah, keberadaannya
bermamfaat, tetapi kalau pun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga
kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan
ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan
tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan orang yang
berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga qolbu
siapapun.
Orang yang mubah, ada tidak adanya tidak
berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika
ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap
berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa mamfaat,
tidak juga membawa mudharat.
Adapun orang yang makruh, keberadannya
justru membawa mudharat. Kalau dia tidak ada, tidak berpengaruh. Artinya kalau
dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya,
ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi
ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke
tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang
keberadaannya menimbulkan masalah.
Lain lagi dengan orang bertipe haram,
keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru
disyukuri. Jika dia pergi ke kantor, perlengkapan kantor pada hilang, maka
ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.
Masya Allah, tidak ada salahnya kita merenung
sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang
tua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat mamfaat tidak dengan
kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah,
mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada
menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri
masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita?
Punya mamfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang
ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para
mubaligh, harus bertanya, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya
mencari penghargaan dan popularitas saja?
Comments
Post a Comment